Minggu, 27 April 2008

Jejak Langkah Yang Kau Tinggal

Jejak Bapak Bangsa….

Mungkin banyak dari kita generasi sekarang yang kurang memahami benar tentang perjuangan Soekarno, sehingga tidak memaknai lagi arti bagaimana bangsa ini dahulunya dibentuk dan ujung-ujungnya spirit kebangsaan itu hilang tenggelam ditelan budaya konsumerisme dan hingar bingar televisi yang membutakan mata generasi muda terhadap jatidirinya sendiri…

Semakin hari, rakyat semakin muak dan tidak perduli pada konsep hidup sebagai sebuah bangsa, hal ini bisa kita lihat dari sikap apatis, siapa lo siapa gue. Kata tenggang rasa dan saling memiliki terhapus dari kamus kehidupan kehidupan sehari-hari. Sikap egois terasa kental, karena setiap anak bangsa dituntut berpacu agar tidak ketinggalan dengan kencangnya laju roda perekonomian yang dipicu hasrat untuk mengkonsumsi. Anak bangsa sibuk berlomba-lomba mengejar kemapanan, namun yang dihasilkan ya cuma sebatas pendapatan tanpa adanya nilai tambah secara ekonomi terhadap kehidupan ekonomi mereka sendiri...

Berikut saya coba sarikan beberapa isi pidato Bung Karno yang mungkin mengingatkan pada kita, bahwa hidup ini bukan hanya berisi tujuan individual semata, namun bagaimana kita bisa memberi manfaat bagi sekeliling kita dan berkontribusi terhadap sesama dan terhadap bangsa yang semakin sakit ini….

Aku bersemboyan; biar Melati, Mawar dan Kenanga dan Cempaka dan semua bunga mekar bersama ditaman sari Indonesia.
(17 Agustus 1964)

Saudaraku!
Baru sekarang saya menulis dari Sukamiskin, karena orang tangkapan hanya boleh berkirim surat sekali dalam dua minggu. Sesudah masuk ke dalam rumah kurungan, hamper semua yang saya bawa dari rumah tahanan di Bandung, diambil. Setiap hari saya mesti bekerja keras. Malam hari, badan sudah letih sehingga belajar pun tidak ada hasilnya.
Sukamiskin tak lebih daripada rumah kurungan, dan saya ini adalah orang hukuman, yang mesti menyembah larangan dan suruhan, seorang manusia yang mesti melupakan kemanusiaannya. Orang hukuman tiada lain daripada seekor binatang ternak; orang hukuman menurut Nietzche, ialah orang yang dijadikan manusia yang tidak mempunyai kemauan sendiri, seperti binatang ternak.
Namun demikian, hatiku tinggal tetapi tak pernah saya melupakan suara hatiku. Bukankah Sir Oliver Lodge telah mengajarkan “No sacrifice is wasted” atau dalam bahasa jawa “Jer basuki mawa beya.”

(Sukamiskin, 17 Mei 1931)

Semua orang tahu bahwa aku ini penggemar seni rupa, baik patung, lukisan-lukisan maupun yang lain-lain. Aku lebih suka lukisan samudera yang gelombangnya memukul-mukul, menggebu-gebu, daripada lukisan sawah yang adem-ayem-tentrem-kadyo siniram wayu sewindu lawase.
(17 Agustus 1964)

Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet, onderwijzen wat men weet. Men kan alleen wat men is. Orang tidak bisa mengajarkan apa yang ia mau, orang tidak bisa mengajarkan apa yang ia tahu, orang hanya bisa mengajarkan apa ia adanya...
(Di Bawah Bendera Revolusi, hal.514)

Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, nafasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku.
(Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, hal.13)

Pada satu waktu saya sampai kepada suatu saat memerlukan satu nama umum bagi semua yang kecil-kecil ini. Ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya nelayan dan lain-lainya, semuanya tidak ada yang besar, melainkan kecil-kecil semuanya. Lantas saya beri kepada semuanya itu Marhaen!
(Pancasila Sebagai Dasar Negara, hal.25)

Kita belum hidup di bawah sinar purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali
(Pidato, 17 Agustus 1949)


Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu

(Pidato, 17 Agustus 1948)

Karena itu segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: Terlepas dari perbedaan apa pun, jagalah persatuan, jagalah kesatuan, jagalah keutuhan! Kita sekalian adalah Makhluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini seolah-olah adalah buta.
(Pidato, 17 Agustus 1956)

Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner....jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan....kita adalah fighting nation yang tidak mengenal journey’s end
(
Pidato, 17 Agustus 1956)

Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan gunung semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun
(
Pidato, 17 Agustus 1965)

Beliau mungkin telah tiada, tapi janganlah semangat beliau yang dititipkan kepada anak bangsa lenyap karena gelombang konsumerisme dan hantaman televisi yang merusak anak bangsa......karena beliau pernah berujar ”kutitipkan bangsa ini padamu”

Klebengan, 27 April 2008
ink