Dalam beberapa minggu terakhir, persoalan kenaikan harga minyak sepertinya memforsir para pemerintah di seluruh dunia mengurangi lagi jam tidurnya untuk memikirkan jalan keluar atas membumbungnya harga crude oil secara global. Kenaikan yang bisa saja mencapai angka 140 dollar AS per barel sepertinya membuat pemerintah setiap Negara, khususnya otoritas di Negara kita tercinta menjadi semakin tidak kreatif mencari solusi. Seperti diberitakan di beberapa media, wacana untuk mengurangi subsidi terdengar lagi. Memang subsidi adalah kebijakan yang efeknya dalam jangka panjang sangat merugikan, namun mengurangi subsidi BBM di tengah masyarakat yang terancam resesi seperti sekarang agaknya juga bukan solusi jangka pendek yang tepat.
Saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 lalu. Efeknya, harga kebutuhan meningkat dan beban hidup masyarakat semakin berat. Kalo dari sudut pandang fiskal sempit mungkin benar, subsidi BBM hanya merugikan saja, tapi bagi ekonomi kerakyatan dampaknya luar biasa. Ini harus mendapat perhatian, karena punya multiplier effect yang tidak sederhana. Kenaikan harga tentu akan mengakibatkan penurunan daya beli (pendapatan riil). Dampak ini sangat bervariasi tergantung pada pola konsumsi dan sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan harga BBM. Belum lagi masalah kelangkaan minyak tanah, dan program konversi minyak tanah yang terlalu dipolitisir.
Namun kalau seandainya BBM terus disubsidi, kita secara sadar membiarkan proses ketimpangan distribusi pendapatan terus berlanjut. Pajak yang dipungut dari keluarga mampu dikembalikan kepada rumah tangga mampu. Secara kasar malah bisa dikatakan -mengingat rumah tangga mampu mendapatkan lebih banyak karena sebagian struktur pajak kita yang regresif dan rumah tangga belum membayar pajak- dengan subsidi BBM mereka mendapatkan lebih besar dari yang mereka bayar (dalam bentuk pajak). Agak aneh dan kontradiktif kemudian, kalau kita mengamati suara-suara atau tulisan yang menyuarakan anti kenaikan BBM justru dari orang-orang yang selama ini getol berbicara tentang ketimpangan pendapatan.
Ekses negatif dari melambungnya harga minyak dunia semakin membuat runyam perekonomian global yang sejak akhir tahun lalu dihajar krisis finansial akibat subprime mortgage. Krisis subprime ini menyebabkan goncangan sektor finansial dan meningkatkan volatilitas perekonomian global. Selain itu, resesi juga mendorong penurunan tingkat suku bunga AS. Meskipun, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap AS dan sekutunya sebenarnya tidak terlalu besar, namun ini menjadi sinyalemen tambahan bahwa sebenarnya fundamental makro ekonomi kita ga baik-baik amat, makanya bisa dihajar juga oleh ambruknya pasar keuangan global.
Saya hanya bisa berharap dalam jangka panjang pemerintah perlu melakukan evaluasi kembali tentang berbagai kebijakan terkait dalam pengadaan dan penyaluran BBM agar tidak memberatkan Pemerintah, masyarakat dan Pertamina yang saat ini ditugaskan untuk mengadakan dan menyalurkan kebutuhan BBM keseluruh wilayah Negara. Kebijakan subsidi BBM mengakibatkan terjadinya disparitas harga di pasar yang mendorong timbulnya berbagai bentuk penyalah gunaan penggunaan BBM, sehingga walaupun sasaran kebijakan subsidi tercapai namun dalam kenyataannya banyak pihak yang tidak berhak mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut.
Semoga negara ini tidak beralih menjadi negara antah berantah.
Yogyakarta, 5 Mei 2008
Irdhas Fabian