Minggu, 04 Mei 2008

Minyak Mentah, Minyak Tanah, Minyak Jelantah Nasibmu Antah Berantah

Dalam beberapa minggu terakhir, persoalan kenaikan harga minyak sepertinya memforsir para pemerintah di seluruh dunia mengurangi lagi jam tidurnya untuk memikirkan jalan keluar atas membumbungnya harga crude oil secara global. Kenaikan yang bisa saja mencapai angka 140 dollar AS per barel sepertinya membuat pemerintah setiap Negara, khususnya otoritas di Negara kita tercinta menjadi semakin tidak kreatif mencari solusi. Seperti diberitakan di beberapa media, wacana untuk mengurangi subsidi terdengar lagi. Memang subsidi adalah kebijakan yang efeknya dalam jangka panjang sangat merugikan, namun mengurangi subsidi BBM di tengah masyarakat yang terancam resesi seperti sekarang agaknya juga bukan solusi jangka pendek yang tepat.

Saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 lalu. Efeknya, harga kebutuhan meningkat dan beban hidup masyarakat semakin berat. Kalo dari sudut pandang fiskal sempit mungkin benar, subsidi BBM hanya merugikan saja, tapi bagi ekonomi kerakyatan dampaknya luar biasa. Ini harus mendapat perhatian, karena punya multiplier effect yang tidak sederhana. Kenaikan harga tentu akan mengakibatkan penurunan daya beli (pendapatan riil). Dampak ini sangat bervariasi tergantung pada pola konsumsi dan sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan harga BBM. Belum lagi masalah kelangkaan minyak tanah, dan program konversi minyak tanah yang terlalu dipolitisir.

Namun kalau seandainya BBM terus disubsidi, kita secara sadar membiarkan proses ketimpangan distribusi pendapatan terus berlanjut. Pajak yang dipungut dari keluarga mampu dikembalikan kepada rumah tangga mampu. Secara kasar malah bisa dikatakan -mengingat rumah tangga mampu mendapatkan lebih banyak karena sebagian struktur pajak kita yang regresif dan rumah tangga belum membayar pajak- dengan subsidi BBM mereka mendapatkan lebih besar dari yang mereka bayar (dalam bentuk pajak). Agak aneh dan kontradiktif kemudian, kalau kita mengamati suara-suara atau tulisan yang menyuarakan anti kenaikan BBM justru dari orang-orang yang selama ini getol berbicara tentang ketimpangan pendapatan.

Ekses negatif dari melambungnya harga minyak dunia semakin membuat runyam perekonomian global yang sejak akhir tahun lalu dihajar krisis finansial akibat subprime mortgage. Krisis subprime ini menyebabkan goncangan sektor finansial dan meningkatkan volatilitas perekonomian global. Selain itu, resesi juga mendorong penurunan tingkat suku bunga AS. Meskipun, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap AS dan sekutunya sebenarnya tidak terlalu besar, namun ini menjadi sinyalemen tambahan bahwa sebenarnya fundamental makro ekonomi kita ga baik-baik amat, makanya bisa dihajar juga oleh ambruknya pasar keuangan global.

Saya hanya bisa berharap dalam jangka panjang pemerintah perlu melakukan evaluasi kembali tentang berbagai kebijakan terkait dalam pengadaan dan penyaluran BBM agar tidak memberatkan Pemerintah, masyarakat dan Pertamina yang saat ini ditugaskan untuk mengadakan dan menyalurkan kebutuhan BBM keseluruh wilayah Negara. Kebijakan subsidi BBM mengakibatkan terjadinya disparitas harga di pasar yang mendorong timbulnya berbagai bentuk penyalah gunaan penggunaan BBM, sehingga walaupun sasaran kebijakan subsidi tercapai namun dalam kenyataannya banyak pihak yang tidak berhak mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut.

if the policy isn’t hurting, it isn’t working” begitulah kata John Major, dan agaknya lagi kata-kata itu memang benar adanya, lagian mana ada obat yang engga pahit? Namun jika memang begitu kenyataan nya pemerintah sebaiknya memperbaiki cara mengkomunikasikan hal itu kepada masyarakat yang akan sangat menderita akibat ancaman kenaikan harga minyak ( baru ancaman kenaikan harga saja, masyarakat sudah menderita, karena efeknya ancaman itu menaikkan harga komoditas lainnya ). Kalau sampai tidak ada subsidi efeknya adalah meningkatnya cost of money yang bisa mengakibatkan inflasi akan naik dan akhirnya suku bunga mau tidak mau akan terpengaruh naik. Melakukan sosialisasi masalah kenaikan harga minyak internasional dengan berbagai implikasinya dan pilihan kebijakan serta akibatnya kepada masyarakat luas dan memberitahukan kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah secara transparan. Pimpinan nasional harus menegaskan kembali bahwa sasaran subsidi BBM adalah masyarakat bawah dan kecil untuk keperluan rumah tangga dan transportasi umum, Berdasarkan kebijakan tersebut secara selektif dapat ditetapkan jenis BBM yang disubsidi misalnya minyak tanah untuk rumah tangga dan solar untuk angkutan umum sedangkan lainnya di lepas menurut harga pasar. Ketergantungan kepada minyak import terus meningkat yang kalau tidak di-rem akan membahayakan ketahanan ekonomi nasional karena enerji non-minyak sulit dikembangkan padahal cadangannya di perut bumi Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan cadangan minyak. Disamping itu hendaknya ditonjolkan aspek keadilan karena subsidi BBM selama ini lebih banyak dinikmati oleh golongan menengah atas.

Semoga negara ini tidak beralih menjadi negara antah berantah.

Yogyakarta, 5 Mei 2008
Irdhas Fabian