Jumat, 15 Februari 2008

Quo Vadis Ekonomi Tahun 2008

Dinamika perekonomian Indonesia pada awal tahun 2008 memperlihatkan gejala yang kurang menggembirakan. Setidaknya dalam dua minggu belakangan ini terlihat jelas kendala-kendala yang akan menghadang perekonomian Negara kita dan membutuhkan perhatian khusus dari otoritas fiskal dan moneter dalam menyikapi sinyalemen tersebut. Beberapa kasus diantaranya, kenaikan harga kedelai yang meningkat nyaris seratus persen. Kedelai merupakan bahan baku utama dari tempe dan tahu yang menjadi sumber protein utama masyarakat kita. Fenomena ini tentu mengakibatkan melangitnya harga lauk pauk yang menjadi santapan utama mayoritas masyarakat dari berbagai kelas sosial. Kasus kedua yaitu merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG ) di lantai bursa efek Indonesia ( BEI ).
Dua fenomena yang muncul menjadi sinyalemen bahwa kinerja sektor makro ekonomi Indonesia di tahun 2007 yang cukup impresif masih menyisakan pekerjaan rumah yang sangat urgent diselesaikan pemerintah, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter sepanjang tahun ini mengingat perekonomian global juga menghadapi masalah serupa. Dalam hal, merosotnya harga-harga hampir semua saham yang listing di bursa dan mencapai titik terendah pada tanggal 22 Januari 2008 kemarin merupakan dampak dari lesunya perekonomian global yang distimulus oleh hancur leburnya harga-harga indeks Dow Jones di Amerika Serikat yang dinilai banyak pengamat sebagai indikasi awal akan munculnya resesi perekonomian AS.
Resesi yang diramal akan menjadi resesi terparah AS sepanjang sejarah ini dipicu masalah subprime mortgage yang muncul sejak pertengahan 2007 lalu dan dampaknya akan berlangsung cukup lama yang juga dikhawatirkan menggeroti perekonomian negara-negara mitra bisnis utama AS seperti China, Jepang dan Uni Eropa. Indonesia yang volume perdagangannya cuma sebesar 12% dengan AS tentu juga akan merasakan imbasnya karena interaksi perekonomian kita cukup intens dengan mitra utama AS. Ditambah pula sifat perekonomian internasional yang terbuka akan mempercepat penyebaran virus penyakit yang ditularkan AS ke perekonomian global.
Ekonom Rizal Ramli dari Econit menyatakan bahwa perekonomian kita di tahun 2008 ini sangat potensial untuk mengalami balon finansial (financial bubbles) yang semakin menggelembung. Balon ini tentunya sangat riskan sekali mengalami kempes atau pecah dan memperparah kondisi perekonomian bangsa. Pasar saham Indonesia yang sepanjang 2007 menikmati untung menggiurkan karena aliran deras dari modal spekulatif ( hot money ) dan peningkatan ekspor karena kenaikan harga komoditas khususnya bahan tambang di pasar dunia. Aliran hot money tadi tentu meningkatkan nilai aset finansial yang serta merta meningkatkan harga saham di lantai bursa. Dikhawatirkan pada 2008 dana investasi ini bisa dengan cepat ditarik investor dan merontokkan IHSG, yang tentu disikapi investor dalam negeri dengan menjual portofolionya dan mengakibatkan IHSG semakin merah rapornya dan kemudian akan membuat nilai tukar rupiah kembali merosot.
Geliat hebat sektor makroekonomi pada 2007 lalu juga merupakan kontribusi dari membengkaknya angka subprime lending pada sektor kredit konsumsi, misalnya meningkatnya angka kredit dalam pembiayaan pembelian kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Subprime lending ini sama dan sejenis dengan biang kerok runtuhnya indeks negara maju seperti AS, yaitu pemberian kredit kepada debitur yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria kelayakan pemberian kredit ( subprime lenders ). Kebalikan dari pemberian kredit kepada debitur yang profilnya memenuhi kriteria pemberian kredit ( prime lenders ).
Praktek ini sepanjang tahun 2007 banyak dilakukan perusahaan pembiayaan dalam memberi kredit murah pembelian alat transportasi yang memang mencatatkan penjualan menakjubkan dan sukses meningkatkan angka kemacetan di kota-kota besar Indonesia. Hal ini tentu akan berdampak buruk jika dalam perjalanan di tahun 2008 nanti kondisi perekonomian debitur-debitur itu memburuk akan meningkatkan non performing loans ( NPL ) perusahaan pembiayaan dan Bank yang turut bermain dalam pasar sehingga mencatatkan kerugian yang akan menjadi salah satu faktor penyebab meletusnya balon finansial.
Jadi bukanlah sebuah retorika belaka kita takut akan terjadi resesi di Amerika Serikat, karena resesi ini akan bertransmisi ke perekonomian global dan memberi imbas yang cukup menakutkan bagi perekonomian kita karena sejauh ini fundamental makroekonomi negara kita ditopang oleh aliran modal spekulatif yang bisa cepat berpindah keluar negeri ( capital outflow ) dan peningkatan angka konsumsi yang ditopang sektor kredit konsumsi yang rentan terhadap masalah kegagalan pembayaran kredit. Belum lagi selama ini telah nyata kita lihat bahwa perkembangan signifikan sektor keuangan pada 2007 kemarin belum mampu ditransmisikan oleh lembaga keuangan tersebut ke sektor riil. Proses intermediasi yang semestinya dijalankan lembaga keuangan tidak berjalan dengan baik, sehingga arus perputaran uang tidak sampai dinikmati masyarakat luas karena hot money tersebut tidak mampu diinjeksikan pemerintah sebagai regulator ke sektor riil yang menjadi denyut nadi perekonomian mayoritas masyarakat Indonesia. Lesunya perkembangan sektor riil dapat dilihat pada fenomena kenaikan harga tempe-tahu yang meresahkan bangsa ini karena kemampuan ekonomi mereka tidak meningkat sebagaimana para investor saham menikmati untung berlipat ganda.
Kenaikan harga duet lauk-pauk bergizi tinggi tersebut yang dipicu melangitnya harga kedelai merupakan kegagalan dari pemerintah Indonesia dalam menyikapi sinyalemen buruk ketahanan pangan yang sudah berlangsung sejak lama. Pemerintah tidak melihat kenyataan bahwa produksi kedelai Indonesia yang terus menurun dari 1517 ton pada tahun 1997 menjadi hanya 748 ton pada tahun 2006, bahkan pada tahun 2007 produksi kedelai semakin turun menjadi 420 ton. Sehingga untuk memenuhi permintaan kedelai yang cenderung meningkat, karena mahalnya harga daging, dilakukanlah impor kedelai yang kebanyakan didatangkan dari Amerika Serikat yang memproteksi petani kedelainya dengan mengalokasikan subsidi yang sangat besar untuk sektor pertanian, dan tentunya kedelai termasuk kedalamnya. Strategi pemerintah hanya memanfaatkan sektor fiskal dengan memberi kesempatan untuk importir lain bermain didalam pasar kedelai tentu bisa dikatakan tanpa visi jauh ke depan. Alih-alih membuka seluasnya kesempatan impor, lebih baik pemerintah memikirkan cara meningkatkan produksi kedelai lokal dengan memproteksi produsen kedelai dari gencarnya importir kedelai.
Semoga dalam menetapkan kebijakan nantinya pemegang otoritas fiskal dan moneter nantinya mampu memformulasikan kebijakan yang tepat sehingga bisa menjaga stabilitas pasar uang, memperbaiki sistem intermediasi keuangan ke sektor riil, menjaga ketahanan pangan nasional. Ketiga masalah ini semoga menjadi pekerjaan rumah yang dapat diselesaikan sehingga ancaman resesi tidak terlalu menghantui perjalanan bangsa ini di tahun 2008 yang masih menyisakan sepuluh bulan lagi.

Tidak ada komentar: