Kamis, 27 Desember 2007

Status Quo Berguguran

“Rakyat memilih pragmatisme ketimbang ideologi,” demikianlah pernyataan presiden terpilih Korea Selatan Lee Myung Bak dalam jumpa pers pertamanya ( kompas, 21 desember 2007 ). Statement yang diungkapkan oleh sang presiden baru menggambarkan sikap pemilih dalam menyikapi suksesi pemerintahan, yang menginginkan sebuah perubahan yang lebih baik daripada kondisi status quo yang umumnya diwacanakan oleh pemimpin bertahan (incumbent).

Situasi ini terjadi pula dalam pelaksanaan beberapa pilkada di Indonesia, dimana para incumbent tak kuasa melanggengkan kekuasaannya dam dikalahkan tokoh lokal lainnya yang lebih mendapat hati dari para pemilih. Masyarakat Indonesia dewasa ini sudah semakin dewasa dalam menyikapi pelaksaan pemilihan kepala daerah, hal ini dikarenakan oleh bergesernya profil mayoritas pemilih dari pemilih tradisional menjadi pemilih rasional.

Perkembangan sikap yang dialami pemilih Indonesia menurut penulis dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya kekuatan ketokohan seorang calon yang diuji dari popularitasnya. Pemilih yang rasional akan lebih memilih tokoh yang lebih dikenal, fenomena ini terjadi di Sulawesi Selatan dimana Syahrul Yasin Limpo menjadi pemenang karena lebih populer ( walau sekarang menjadi sengketa akibat keputusan Mahkamah Agung ).

Faktor kedua yang sangat signifikan yaitu voting yang didasarkan pada sikap anti status quo dan anti incumbent. Dalam pelaksanaan beberapa pilkada terdapat sinyalemen negatif yang menilai incumbent tidak berhasil dalam melaksanakan pemerintahan yang pro rakyat sehingga masyarakat tidak merasakan manfaat positif dari lima tahun pemerintahan incumbent tersebut. Kegagalan incumbent dalam meningkatkan taraf ekonomi rakyat menjadi batu sandungan yang mematikan bagi para mantan pemimpin itu.

Ketiga, tidak dapat kita pungkiri bahwa dewasa ini semakin banyak pemilih yang makin melek terhadap politik karena telah terjadi peningkatan intelektualialitas dan keberhasilan pendidikan demokrasi politik yang terjadi secara koheren dengan semakin banyaknya dilangsungkan panggung politik di Indonesia sejak mulai bergulirnya era reformasi. Ibaratnya sebuah cabang olahraga, semakin banyak digulirkan kompetisi maka atlet dan juga penonton cabang olahraga tersebut akan semakin mahir dalam menyikapi permainan itu. Peningkataan tingkat pendidikan dan pengetahuan politik tersebut akan bermuara pada sikap kritis masyarakat dalam menyikapi performa jelek yang dihasilkan incumbent selama masa pemerintahannya. Sehingga pemilih yang digolongkan sebagai pemilih rasional kalkulatif ini akan memilih berdasar integritas, rekam jejak, visi seorang kandidat karena mereka akan sangat tercerahkan dalam mendapat informasi. Mereka akan lebih cepat merubah pilihan politiknya kepada calon lain yang menjajikan suasana kehidupan lebih baik didasarkan pada visi-misi dan strategi kandidat tersebut.

Faktor terakhir yang sangat penting yaitu berkembangnya sikap pragmatisme masyarakat seperti fenomena yang diungkap Lee Myung Bak diatas. Pemilih secara sadar memilih berdasar pertimbangan untung-rugi, mereka akan memilih seorang calon baru yang dirasa akan memberikan keuntungan jangka pendek secara pribadi dengan mempertimbangkan program janji-janji kampanye calon pemimpin baru tersebut, apalagi jika ternyata mereka merasa kandidat bertahan tidak memberi keutungan lebih buat mereka selama ini.

Hal ini akan menjadi tantangan bagi para incumbent di masa mendatang karena semua priviledge sebagai incumbent bukan lagi jaminan menang pilkada.

Tidak ada komentar: