Senin, 21 Januari 2008

Pemekaran Daerah Autis

Konsep otonomi daerah yang digadangkan-gadangkan pemerintah semenjak pemerintahan Gus Dur pada awal orde reformasi ini tampaknya mulai menuai banyak masalah. Konsep yang berasosiasi dekat dengan pemekaran daerah ini tampaknya melahirkan banyak daerah pemekaran layaknya melahirkan anak autis. Anak yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan cenderung bersifat destruktif. Ingin dimatikan juga tidak mungkin, toh itu anak sendiri, ada beban moral dan sanksi yang keras dalam hal tersebut. Namun ketika sang anak dalam proses pertumbuhan, banyak masalah dan konflik yang muncul, karena sang anak lahir ke dunia disertai carut marut persoalan yang membelit orang tua dan saudara kandungnya..daerah baru dilahirkan dalam keadaan yang cacat dan autis!


Hendaknya kelahiran daerah baru disikapi dengan penuh perhitungan oleh pemerintah pusat sebagai orang tuanya, dan kemudian daerah baru hasil pemekaran yang masih seumur jagung itu mendapat asupan energi dari pusat secukupnya, mendapatkan perhatian dan bimbingan yang layak dari pemerintah pusat dan daerah induk pemekaran tersebut. Namun yang terjadi tidaklah demikian! Pemerintah pusat terlihat enggan dan lepas tangan dalam pembimbingan daerah baru, mereka lebih memforsir kabupaten atau provinsi induk untuk melakukan pendampingan dalam proses berjalannya pemerintahan dan pembangunan daerah hasil pemekaran tersebut.


Sementara daerah induk pemekaran terlihat setengah-setengah dalam membantu dan memberikan konsultasi. Mereka malah lebih sibuk gontok-gontokkan dengan daerah baru tersebut dalam perkara pembagian asset dan penentuan batas wilayah. Tidak jarang asset2 pemda berupa kantor berikut alat kelengkapan pendukungnya, mobil dinas dan asset bernilai ekonomis tinggi termasuk potensi sumber daya bernilai ekonomis tinggi pula jadi rebutan. Di lain pihak daerah baru nan autis tersebut belum siap menjalankan pemerintahan karena terjadi pula perebutan kue kekuasaan diantara tokoh-tokoh berpengaruh di daerah tersebut.


So, lagi-lagi rakyat lah yang mesti membayar semua, pelayanan publik jadi tersendat dan membingungkan mereka karena belum ”ready”nya aparat pemerintahan baru memberi layanan optimal untuk masyarakat, sedangkan secara administratif mereka tidak bisa lagi mengurus KTP, dan segala macam akses bentuk pelayanan publik lain ke tempat semula karena terjadi pengalihan proses administrasi. Belum lagi masalah-masalah besar lain yang memerlukan atensi besar pemerintah kabupaten atau provinsi baru!!!!


Marilah kita dengan lantang meneriakkan kata,

SAY NO MORE TO ”DAERAH PEMEKARAN BARU YANG AUTIS”


inkFabian Baharin

Tidak ada komentar: